Rabu, 04 Juli 2012

AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL November 14, 2009 Posted by ppraudlatulmubtadiin in GORESAN. trackback Manusia dan Agama Psikologi modern tampaknya memberi porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendekatan psikologis yang digunakan terbatas pada pengalaman empiris. Psikologi agama merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia. Pendapat yang paling ekstrem pun hal itu masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologi. Agama menurut Freud tampak dalam perilaku manusia sebagai simbolisasi dari kebencian terhadap Ayah yang direfleksi dalam bentuk tasa takut kepada Tuhan. Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidakberdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Lain halnya dengan penganut Behaviorisme. Walaupun dalam pembahasannya, Skinner, salah seorang tokoh Behaviorisme tidak menyinggung perilaku keagamaan secara khusus, namun tampaknya sama sekali tak dapat menghindarkan diri dari keterkaitannya dengan kenyataan bahwa agama memiliki institusi dalam kehidupan masyarakat. Dalam hubungan ini pula Skinner melihat agama sebagai isme social yang lahir dari adanya factor penguat. Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi factor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan. Sejalan dengan prinsip teorinya, bahwa Behaviorisme memandang perilaku manusia itu lahir karena adanya stimulant (rangsangan dari luar dirinya) teori Sarbond (gabungan dari stimulant dan respon) yang dikemukakan oleh Behaviorisme tampaknya memang kurang memberi tempat bagi kajian kejiwaan nonfisik. Namun, dalam masalah perilaku keagamaan, sebagai sebuah realitas dalam kehidupan manusia tak mampu ditampik oleh Behaviorisme. Perilaku keagamaan menurut pandangan Behaviorisme erat kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward and punishment). Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah. Menghindarkan hukuman (siksaan) dan mengharapkan hadiah (pahala). Memang aliran Behaviorisme melihat perilaku bekerja menurut asas mekanistik yang bersifat serba fisik. Karena itu, para ahli psikologi yang kurang sependapat dengan pandangan Behaviorisme yang dipelopori oleh E.L. Thorndike, Watso maupun Skinner menyindir bahwa aliran ini merupakan aliran psikologi yang tidak berjiwa. Mereka menganggap bahwa perilaku manusia bersifat kondisional, jadi dapat dibentuk dan diarahkan menurut situasi yang diberikan kepada manusia. Barang kali yang lebih jelas membahas perilaku keagamaan adalah psikologi humanistic. Menurut Abraham Maslow, salah seorang pemuka psikologi humanistic yang berusaha memahami esoteric (rohani) manusia. Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia memliki kebutuhan yang bertingkat dari yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling puncak. Pertama, kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk hidup seperti: makan, minum, istirahat, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang mendorong orang agar bebas dari rasa takut dan cemas. Ketiga, kebutuhan akan kasih sayang, antara lain berupa pemenuhan hubungan antarmanusia. Keempat, kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan ini dimanifestasikan manusia dalam bentuk aktualisasi diri antara lain dengan berbuat sesuatu yang berguna. Pengalaman puncak yang transeden digambarkan sebagai kondisi yang sehat super normal (normal super healty) dan sehat super-super (super-super healty), yang oleh Maslow disebut peakers (transcenderr) dan non-peakers (non-transcenders). Peakers memiliki pengalaman-pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas tentang diri mereka dan dunia mereka. kelompok ini cenderung menjadi lebih mistik, puitis, dan saleh. Teori yang dikemukakan Maslow yang disebutnya sebagai pribadi yang lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan transcendental ini dinilainya sebagai tingkat dari kesempurnaan manusia sebagai pribadi (self). Gambaran tentang kesempurnaan tingkat kepribadian manusia ini agak mirip dengan konsep insan al-kamil, pribadi manusia sempurna yang kembali pada fitrah kesuciannya. Fitrah ini menurut M. Quraish Shihab memiliki ciri-ciri berupa kecenderungan manusia untuk menyenangi yang benar, baik, indah. Pendekatan berikutnya adalah yang dikemukakan Victor Frankle pendiri aliran logoterapi. menurut Frankle, eksistensi manusia ditandai oleh tiga factor, yakni spirituality (keruhanian), freedom (kebebasan), dan responsibility (tanggung jawab). Memang Frankle menggunakan istilah spirituality tidak dihubungkan dengan keberagamaan melainkan semata-mata dikaitkan dengan penghayatan maknawi manusia akibat adanya kemampuan transedensi terhadap dirinya lingkungannya. Melalui teori relativisme, Einstein memiliki pengalaman batin yang unik. Menurut Oemar Hasem dalam bukunya Mengapa Einstein ber-Tuhan, dikemukakan secara garis besarnya sebagai berikut: “Saat mengadakan percobaan di laboratorium, Einstein membakar batu bara seberat satu kilogram. sisa pembakaran berupa abu dan asap ia tampung dalam sebuah tabung kaca. ternyata beratnya menyusut satu gram. Setiap kali ia melakukan hal yang serupa, senantiasa ditemuinya kasus yang sama. Einstein mula-mula menjadi heran, ke mana zat yang satu gram itu perginya. padahal sudah demikian rapinya ia menjaga agar sisa pembakaran itu tidak menguap. akhirnya, ia menemukan jawabannya bahwa berat yang segram itu berubah menjadi energi. jadi, setiap terjadi pembakaran satu kilogram batu bara diperoleh energi sebesar satu gram. Akhirnya, Einstein berkasimpulan bahwa benda-benda langit itu pasti ada yang menggerakannya. ia menyebutnya sebagai suatu kekuatan Yang Maha Dahsyat. Itulah Tuhan, cetus Einstein. Dengan menggunakan pendekatan psikologi agama, barangkali kedua kasus tersebut dapat di golongkan ke dalam rasa kagum yang oleh Rudloff Otto timbul dari muncul presaan yang bersumber dari adanya The Wolly Others dan yang menimbulkan perasaan getaran misterius (mysterium tremendum) dalam hati Einstein. Agama tampaknya memang tampak tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya dikarenakan factor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib. Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh al-Qur’an: ” فأقم وجهك للدّين حنيفا فطرت الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدّين القيّم ولكن أكثر الناس لا يعلمون ” (الروم:30) artinya: maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS 30:30). Dalam al-Qur’an dan Terjemahnya (Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah. Maksudnya ciptaan Allah. Manusia dicipatakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanya lantaran pengaruh lingkungan. Muhammad As-Shobuny, mentafsirkannya menjadi sikap ikhlas dan tunduk kepada Islam sebagai agama Allah dan menjadikan kecenderungan untuk tunduk kepada agama yang benar, yaitu Islam. dan Allah menjadikan pada diri manusia untuk tunduk pada fitrah tauhid. dalam berbagai sumber, psikologi agama menurut pendekatan Islam telah mengungkapkan hubungan manusia dengan agama. Agama dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Mental Kesehatan mental (mental bygiene) adalah ilmu yang meliputi system tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Dalam ilmu kedokteran dikenal istilah psikosomatik (kejiwabadanan). Dimaksudkan dengan istilah tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara jiwa dan badan. istilah “makan hati berulam jantung” merupakan cerminan tentang adanya hubungan antara jiwa dan badan sebagai hubungan timbal balik, jiwa sehat badan segar dan badan sehat jiwa normal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar